W.R Soepratman dalam kenangan

 Buat teman - teman sesama Komunitas Photography Surabaya taukah anda bahwa diSurabaya di kenal sosok pahlawan yang harus kita kenang dan hormati sepanjang masa .
 Siapakah dia ..? Mari kita ulas habis riwayat hidupnya..

 
Tempat/Tgl Lahir : Jatinegara, Jakarta,
Senin Wage, 9 Maret 1903
Tempat/Tgl Wafat : Jl. Mangga 21, Tambaksari, Surabaya
Rabu Wage, 17 Agustus 1938
Orang Tua: Jumeno Senen Sasto Suharjo & Siti Senin
Agama : Islam.
Saudara : Anak ke 5 dari 6 bersaudara (5 puteri & 1 putera)
Pendidikan : Klein Amtenaar Examan dan Normaal School
Profesi : Wartawan, guru dan komponis lagu.
Karya Lagu : Lagu Kebangsaan Indonesia Raya (1928), Idonesia Iboekoe (1928), Bendera kita Merah Poetih (1928), Bangoenlah hai kawan (1929), Raden Adjeng Kartini (1929), Mars KBI (Kepandoean Bangsa Indonesia) (1930), Di Timoer Matahari (1931), Mars PARINDRA (1937), Mars Soerya Wirawan (1937), Matahari Terbit (Agustus 1938), Selamat Tinggal (belum selesai) (1938).
Karya Sastra : Perawan Desa (1929), Darah Moeda, Kaoem Panatik. (Jalan Pincang)

Kehidupan pribadi

Ayahnya bernama Senen, sersan di Batalyon VIII. Saudara Soepratman berjumlah enam, laki satu, lainnya perempuan. Salah satunya bernama Roekijem. Pada tahun 1914, Soepratman ikut Roekijem ke Makassar. Di sana ia disekolahkan dan dibiayai oleh suami Roekijem yang bernama Willem van Eldik.
Soepratman lalu belajar bahasa Belanda di sekolah malam selama tiga tahun, kemudian melanjutkannya ke Normaalschool di Makassar sampai selesai. Ketika berumur 20 tahun, lalu dijadikan guru di Sekolah Angka 2. Dua tahun selanjutnya ia mendapat ijazah Klein Ambtenaar.
Beberapa waktu lamanya ia bekerja pada sebuah perusahaan dagang. Dari Makassar, ia pindah ke Bandung dan bekerja sebagai wartawan di harian Kaoem Moeda dan Kaoem Kita. Pekerjaan itu tetap dilakukannya sewaktu sudah tinggal di Jakarta. Dalam pada itu ia mulai tertarik kepada pergerakan nasional dan banyak bergaul dengan tokoh-tokoh pergerakan. Rasa tidak senang terhadap penjajahan Belanda mulai tumbuh dan akhirnya dituangkan dalam buku Perawan Desa. Buku itu disita dan dilarang beredar oleh pemerintah Belanda.
Soepratman dipindahkan ke kota Sengkang. Di situ tidak lama lalu minta berhenti dan pulang ke Makassar lagi. Roekijem sendiri sangat gemar akan sandiwara dan musik. Banyak karangannya yang dipertunjukkan di mes militer. Selain itu Roekijem juga senang bermain biola, kegemarannya ini yang membuat Soepratman juga senang main musik dan membaca-baca buku musik. W.R. Soepratman tidak beristri serta tidak pernah mengangkat anak.

Indonesia Raya

Sewaktu tinggal di Makassar, Soepratman memperoleh pelajaran musik dari kakak iparnya yaitu Willem van Eldik, sehingga pandai bermain biola dan kemudian bisa menggubah lagu. Ketika tinggal di Jakarta, pada suatu kali ia membaca sebuah karangan dalam majalah Timbul. Penulis karangan itu menantang ahli-ahli musik Indonesia untuk menciptakan lagu kebangsaan.
 
Gambar: Naskah Otentik Lagu Indonesia Raya
Soepratman tertantang, lalu mulai menggubah lagu. Pada tahun 1924 lahirlah lagu Indonesia Raya, pada waktu itu ia berada di Bandung dan pada usia 21 tahun.
Pada bulan Oktober 1928 di Jakarta dilangsungkan Kongres Pemuda II. Kongres itu melahirkan Sumpah Pemuda. Pada malam penutupan kongres, tanggal 28 Oktober 1928, Soepratman memperdengarkan lagu ciptaannya secara instrumental di depan peserta umum (secara intrumental dengan biola atas saran Soegondo berkaitan dengan kondisi dan situasi pada waktu itu, lihat Sugondo Djojopuspito). Pada saat itulah untuk pertama kalinya lagu Indonesia Raya dikumandangkan di depan umum. Semua yang hadir terpukau mendengarnya. Dengan cepat lagu itu terkenal di kalangan pergerakan nasional. Apabila partai-partai politik mengadakan kongres, maka lagu Indonesia Raya selalu dinyanyikan. Lagu itu merupakan perwujudan rasa persatuan dan kehendak untuk merdeka.
Sesudah Indonesia merdeka, lagu Indonesia Raya dijadikan lagu kebangsaan, lambang persatuan bangsa. Tetapi, pencipta lagu itu, Wage Roedolf Soepratman, tidak sempat menikmati hidup dalam suasana kemerdekaan.
Jiwa kebangsaan Supratman sangat tinggi. Rasa nasionalisme itu membuahkan karya bernilai tinggi yang di kemudian hari telah menjadi pembangkit semangat perjuangan pergerakan nasional. Lagu Indonesia Raya pertama kali diperdengarkan tanpa kata-kata. Hanya alunan biola Supratman.

Violis juga Penulis

Supratman adalah seorang pemain biola. Tapi ia juga seorang penulis. Ia pernah menulis sebuah buku yang menyatakan betapa ia tidak senang dengan penjajahan Belanda. Nama bukunya, Perawan Desa . Buku itu akhirnya disita dan dilarang beredar oleh pemerintah Belanda. Suatu hari, Supratman membaca sebuah tulisan di Majalah Timbul. Penulis tulisan itu menantang ahli-ahli musik Indonesia untuk menciptakan lagu kebangsaan. Semangat nasionalisme yang tinggi membuat Supratman merasa tertantang. Tahun 1924, lahirlah lagu Indonesia Raya.
Lirik lagu “Indonesia Raya”
Cipt. W.R. Soepratman

Kongres Pemuda

            Pada bulan Oktober 1928, diadakan Kongres Pemuda. Kalian sudah tahu kan dari kongres ini lahir apa? Sumpah Pemuda. Di Kongres Pemuda ini, Supratman memainkan lagu ciptaannya. Tepatnya pada malam penutupan acara tanggal 28 Oktober 1928 tersebut. Lagu yang sangat menggugah jiwa patriotisme itu dengan cepat terkenal di kalangan pergerakan nasional. Sejak itu, kalau partai-partai politik mengadakan kongres, lagu Indonesia Raya, selalu dinyanyikan. Ketika Indonesia sudah mencapai kemerdekannya, para pejuang-pejuang kemerdekaan menjadikan lagu Indonesia Raya sebagai lagu kebangsaan. Sayang sekali, Supratman sudah meninggal pada tanggal 17 Agustus 1938. Ia tidak sempat mendengar lagu gubahannya dikumandangkan pada hari kemerdekaan Indonesia.

Pahlawan Nasional

 Jasa-jasa Supratman bukan hanya menggubah lagu kebangsaan kita. Ia adalah tokoh yang bisa membangkitkan semangat perjuangan dan patriotisme. Pahlawan Nasional yang satu ini adalah contoh bagus bagaimana musik pun bisa menyatukan dan membangkitkan semangat orang lain. Supratman meninggal dan dimakamkan di Surabaya tanggal 17 Agustus 1938. Setiap kamu mendengar lagu Indonesia Raya saat upacara, ingat pula lah Wage Rudolf Supratman.

7 Wasiat Wage Rudolf Supratman sebelum wafat. .


            Siapa yang tidak kenal lagu Indonesia Raya, kita dan seluruh Rakyat negeri ini pasti sudah tidak asing lagi dengan lagu ini, karena memang ia adalah lagu Kebangsaan kita Rakyat Indonesia, setiap even Kenegaraan, pertemuan organisasi massa, olah raga, dsb.nya, lagu Indonesia Raya pasti berkumandang, bahkan untuk menghormatinya ketika menyanyikan lagu kebangsaan Indonesia Raya semua pasti dianjurkan untuk berdiri, itu sebagai isyarah sumpah dari yang menyanyikan untuk menegakkan apa yang menjadi isi dari lagu tersebut, disana ada janji untuk cinta tanah air, janji untuk bersatu, janji untuk membangun jiwa dan raga Rakyat Indonesia yang semuanya itu untuk cita-cita Indonesia Raya.

Pada masa penjajahan, lagu ini mampu menggugah semangat patriotisme bangsa Indonesia, mampu menjadi semacam perwujudan persatuan dan kehendak untuk merdeka bagi Rakyat Indonesia, sampai-sampai Belanda sempat melarang penyebutan Indonesia Raya sebagai Lagu Kebangsaan dan bait merdeka merdeka supaya diganti dengan mulia mulia (WR Supratman menyebut lagu ini dengan Lagu Kebangsaan sejak pertama kali diperkenalkan pada peristiwa Sumpah Pemuda tahun 1928), ini karena saking takutnya pihak Belanda akan bangunnya kesadaran jiwa Bangsa Indonesia yang ditimbulkan dari lagu ini, namun upaya itu tidak menyurutkan nyali dari para pejuang Indonesia untuk tetap menganggapnya sebagai lagu kebangsaan dan tetap menyanyikan lagu Indonesia Raya pada setiap acara-acara resmi, pertemuan-pertemuan penting, dll. hingga akhirnya Indonesia benar-benar bisa meraih kemerdekaannya pada tanggal 17 Agustus 1945.
 
Namun siapa sangka, sang komponis yang melahirkan lagu yang membangunkan jiwa Bangsa Indonesia ini diakhir hidupnya mengalami nasib yang memprihatinkan, ditempat sempit yang pengap disalah satu ruang dari rumah sang kakak Rukiyem Supratijah, tanpa ada satupun keluarga disisinya saat itu ia menjemput maut kembali keRahmatulloh pada usianya yang ke 35, setelah mengalami sakit selama beberapa hari, Saat meninggalnya WR Supratman tidak meninggalkan harta sepeserpun, bahkan konon, pakaian yang dipakai waktu meninggal-pun merupakan pinjaman dari kakak iparnya Willem Van Eldick. hanya biola (sekarang disimpan dimuseum Sumpah Pemuda, Jakarta) dan secarik kertas wasiat untuk bangsanya-lah yang menjadi jejak terakhir sebelum ia meninggal, wasiat itu berjudul Selamat Tinggal terdiri dari 7 bait atau bagian :
1. Selamat tinggal Tanah Airku, Tanah Tumpah Darahku.
2. Indonesia Tanah yang berseri, Tanah yang kusayangi.
3. Selamat tinggal bangsaku, marilah kita berseru.
4. Indonesia bersatu, bangsa dan tanah airku.
5. Marilah kita berdoa, Indonesia bahagia.
6. Marilah kita berjanji Indonesia abadi.
7. Hiduplah Indonesia Raya, selamat Tinggal untuk selama2nya.
 7 wasiat inilah sebagai tanda perpisahan dari WR Supratman kepada Tanah Air yang sangat dicintainya, ucapan selamat tinggal dari sang komposer kepada bangsa tercinta.

Melihat isi 7 wasiat ini, hati kami sungguh tersentuh, bagaimana tidak seseorang yang berjasa besar seperti beliau, ketika dalam keadaan melarat, sakit, nasib yang dilupakan orang seperti itu masih ingat tanah airnya, masih mementingkan nasib bangsanya, masih memikirkan masa depan negaranya, ini betul-betul jiwa pahlawan yang patut dicontoh, bagaimana beliau sungguh-sungguh menghayati hubbul wathon minal iman.

Wafatnya W.R. Soepratman
Setelah menciptakan lagu Indonesia Raya, ia selalu diburu oleh polisi Hindia Belanda, sampai jatuh sakit di Surabaya. Karena lagu ciptaannya yang terakhir "Matahari Terbit" pada awal Agustus 1938, ia ditangkap ketika menyiarkan lagu tersebut bersama pandu-pandu di NIROM Jalan Embong Malang, Surabaya dan ditahan di penjara Kalisosok, Surabaya. Ia meninggal pada tanggal 17 Agustus 1938 karena sakit.
 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar